Ketika Layar Menyala Pukul 3

Cahaya biru memenuhi meja saya seperti keheningan cair. Jam menunjukkan pukul 03.17, kota telah terlelap. Jari-jari saya menggantung di atas keyboard—kali ini bukan menulis puisi, tapi memasang taruhan. Bukan untuk uang. Bukan juga untuk kesenangan. Tapi karena sesuatu di dalam diri saya butuh irama. Butuh gerak. Butuh makna di tengah hening yang tak terpecahkan.

Saya pernah merancang pengalaman imersif—game tempat pemain tenggelam dalam cerita yang tak mereka minta. Kini saya duduk di sisi lain: seorang pemain yang tidak percaya pada keberuntungan… namun tetap memasang taruhan setiap malam.

Ritual Sebelum Mulai

Tidak ada adegan dramatis atau musik megah. Hanya saya, layar kosong, dan ikon kecil berbentuk kerbau emas—matanya menyala merah lembut. Ini adalah Fú Niú Shèng Yàn, atau yang sering disebut: “Pesta Keberuntungan”.

Saya tahu apa yang diklaim game ini—campuran simbol Tahun Baru Imlek dengan mekanik baccarat—but that’s not why I come back. Setiap kali saya klik “Pasang Taruhan”, rasanya seperti menyalakan lilin di gelap. Seperti berkata: Saya masih ada. Saya masih memilih. Saya masih percaya pada pola, meskipun hanya dibuat-buat.

Strategi Hanyalah Doa Lain

Dikatakan ada aturan: lacak tren, hindari seri (odds 8:1 tapi peluang cuma 9,5%), percayai house edge (potongan 5%). Matematikanya jelas. Transparan. Diverifikasi auditor. Pendekatannya logis—tapi…

Saya tidak selalu mengikutinya. Pernah saya bertaruh pada ‘Seri’ hanya karena terasa rebellius—seperti menjawab nasib secara bisikan. Lain waktu, setelah tiga kali kemenangan Banker beruntun, saya gandakan taruhan—bukan karena percaya momentum, tapi karena jiwa saya butuh simetri saat ini. The numbers don’t matter as much as the feeling they create—the illusion that control exists, even if only for one hand, one breath, one heartbeat before sleep takes over again.

Ini bukan judi—ini adalah navigasi ritual melalui medan emosional yang terlalu luas untuk diungkap kata-kata saja. The real payout? A momentary sense that life isn’t just happening to me—but that I’m still participating somehow, yet fully aware this participation might be an act itself, a performance for no audience but myself.