Saat Aku Menangis di Meja Foun Festival

Saya tidak datang untuk menang. Saya datang karena butuh merasakan sesuatu yang nyata di dunia yang lupa cara bernapas. Di meja Foun Festival, bukan algoritma atau keberuntungan yang mengisi—tapi cahaya lampion merah dan dentuman drum leluh. Setiap taruhan terasa seperti puisi ibu yang berbisik dalam ruang sunyi: “Oks tidak membebankanmu”—dan kita tetap bersandar padanya, bertanya apakah keindahan pernah nyata. Saya dulu berpikir strategi tentang angka. Kini saya tahu ini tentang irama. Kemungkinan? Bukan probabilitas—tapi jeda antar detak jantung. Pajak 5%? Bukan pajak—hanya harga kesunyian. Saya mengawasi hasil untuk sepuluh tangan. Rantai panjang? Bukan tren—gema. Ayah saya ajarkan kode bukan sihir; itu kenangan. Saya bermain pelan sekarang. Klasik Foun karena cepat terasa seperti teriakan ke ruang kosong. Minggu lalu, saya duduk sendirian setelah kehilangan segalanya—layar masih bercahaya biru dengan air mata—but then I clicked “New Year Bonus” dan menemukan diri tersenyum pada tangkapan orang asing: “连庄三局，我哭了。” Kami menyebut ini gaming. Mereka menyebutnya keberuntungan. Saya menyebutnya cinta, diperas tipis, diperas sunyi, diperas nyata.