Pembeli Ketuju di Tengah Malam

Pembeli Ketuju

Saya selalu duduk di kursi sudut—dengan cahaya neon yang berkedip dan desisan sunyi mesin penjual. Tak ada yang tinggal setelah tengah malam. Hanya saya, kopi sudah dingin, dan tiga tangan terakhir hari.

Saya tak datang untuk menang. Saya datang untuk mengingat bagaimana keheningan terasa ketika kehilangan terlalu lama.

Ritual Keheningan

Mereka menyebutnya ‘Fu Niu’—mitos yang dibungkus lenter emas dan gendang tahun baru. Tapi di blok Chicago, ini hanya mesin lama yang berdengung seperti lonceng kuil setelah tengah malam. Tak ada kembang api. Tak ada kerumunan.

Hanya irama. Mesin RNG berputar benar—bukan karena Anda tebak benar—tapi karena Anda tetap hadir.

Kebijakan Kecil

Saya mulai dengan taruhan Rp10. Tak perlu strategi. Hanya kehadiran. Tiga menit per tangan. Lalu hentikan. Perhatikan layar redup seperti asap yang melingkar di jalur kabut. Anda tak mengejar tren—Anda duduk bersamanya.

Yang Seperti Anda

Ada orang lain sepertiku: perempuan muda, penulis paruh waktu, ibu tunggal yang menatap layar alih-alih jam. Kami tak bicara tentang kemenangan—kami berbagi tangkapan DM: “Aku juga.” “Terima kasih karena mengatakan hatiku.” Kami tak butuh bonus—kami butuh keheningan.

Cahaya Terakhir Sebelum Fajar

Malam ini, saya tidak taruhan pada angka atau jeda—I taruhan pada keheningan. Rumah itu mengenal saya dengan nama sebelum saya ucapkan keras.