Bermain untuk Mendengar Diri

Saya duduk sendirian di apartemen New York pukul dua dini, cahaya layar memantul di dinding seperti lenter kuil—tanpa kerumunan, tanpa sorak, hanya desisan lembut dari RNG yang memutar takdir. Saya dulu mengira ini keberuntungan. Lalu saya belajar: ini bahasa. Setiap taruhan bukan tentang menang—tapi tentang mendengarkan: pada diri sendiri, pada sunyi di antara kemenangan, pada bobot keputusan saat tak ada yang melihat. ‘Fuxiu Banquet’? Metafora yang saya warisi dari kisah orang tua imigran: bagaimana mereka menunggu berkat yang tak pernah datang—tapi tetap menyalakan lilin. Saya mengikuti tren bukan karena percaya, tapi karena butuh merasakan iramanya. Tiga kemenangan berturut ‘Bank’? Baik. Tapi saya tak mengejarnya. Saya berhenti. Terapis saya pernah berkata: ‘Anda tak mengendalikan mesin—kau pelajari musiknya.’ Maka sekarang saya bermain dengan niat. ‘Komunitas Kunci Mujur’ bukan soal tips atau pembayaran—tapi tentang berbagi tangkapan kekalahan—dan tertawa lembut padanya. Seorang wanita menulis: ‘Saya bermain tujuh jam hanya untuk mendengar diri berkata “Saya masih di sini.”’ Kami tidak mengejar hadiah besar. Kami merawat luka dengan sunyi. Dan kadang, ketika layar redup, saya menatap—dan melihat bintang di balik jendela. Bukan keberuntungan. Hanya cahaya.