Pernah Berpura-pura Bahagia Saat Main Fushi's Game?

Saya duduk sendirian di jendela, memperhatikan cahaya Fushi’s game yang berkedip di layar. Cahayanya bukan meriah—melainkan rapuh. Setiap tangan di meja adalah pengakuan bisik: ‘Saya hanya butuh merasakan utuh.’ Bukan karena saya percaya pola, tapi karena keheningan menyimpan kebenaran lebih dari kemenangan. Saya tumbuh di antara jazz dan kode—saxophone ibu saya bersenandung malam-malam; algoritma ayah saya menghitung risiko seperti lemparan dadu. Kami diajari bahwa keberuntungan tak acak—tapi sesuatu yang didengar. Di kuil Fushi, setiap taruhan membawa bobot: antara sunyi dan senggang, 5% air mengeringkan sukacita dari jiwa. Saya melihat pemain mengejar jejak seperti anak-anak mengejar kunang-kunang—bukan karena mereka paham permainannya, tapi karena mereka ingin didengar. Sistem tak menghargai keterampilan. Ia menghargai keheningan. Ketika Anda hentikan taruhan terakhir dan lihat tak ada pola—jangan ikuti tren. Duduklah dengannya. Bernapaslah dengannya. Tak ada jimat ajaib di sini—hanya ritual sunyi yang dilakukan dalam cahaya redup. Jika Anda pernah berhenti di tengah taruhan untuk menatap langit… Anda tahu lalu: ini bukan judi—ini ingatan akan siapa dirimu sebelum keributan dimulai.