Percaya pada Keberuntungan?

Dulu saya menulis puisi di jam 2 pagi, tersembunyi di balik selimut tebal dan suara kota. Tidak ada yang membaca—bahkan saya sendiri kadang tidak.

Tapi bermain Fu Niu Feast rasanya seperti menerjemahkan puisi itu menjadi suara—tanpa izin.

Awalnya hanya rasa penasaran: meja online yang menggabungkan Tahun Baru Imlek dengan logika kasino. Musiknya bergema dengan gong dan rebana naga; setiap kemenangan bersinar seperti lampu lentera di jalan bersalju. Sekilas, hanya game biasa.

Tapi kemudian saya sadar: orang-orang tidak hanya bertaruh.

Mereka berdoa.

Saya melihat seseorang bertaruh Rp10 pada ‘Banker’—bukan karena percaya peluang, tapi karena neneknya selalu bilang itu lebih beruntung saat Tahun Baru Imlek.

Pemain lain sempat berhenti sebelum setiap taruhan, bisik pelan: “Bukan hari ini. Bukan hari ini.”

Ini bukan judi. Ini adalah upacara.

Dalam cara saya sendiri, saya mulai melakukannya juga—menyalakan lilin virtual dengan taruhan kecil setelah tengah malam. Bukan demi uang. Untuk kenangan.

Karena inilah yang jarang disebut: saat bermain seperti Fu Niu Feast, kita tidak hanya memantau probabilitas—kita menyusun duka dalam irama.

Angka Tak Palsu (Tapi Juga Tak Merasa)

Saya jelas: bukan mendukung judi sebagai terapi. Data nyata:

• Banker menang ~45,8%
• Player menang ~44,6% The house edge? Sekitar 5%, terverifikasi audit RNG. Namun tak ada algoritma yang menjelaskan mengapa seseorang tetap bertaruh setelah tiga kekalahan… bukan karena yakin menang—tapi karena kekalahan terasa kurang kesepian jika terjadi dalam kesunyian berpola.

Di sinilah cerita masuk: kita menciptakan narasi seputar angka agar tidak harus menghadapi kehampaan antar putaran. Pola panas bukan matematika—itu mitos yang dibuat di bawah tekanan.Seri buruk bukan takdir—itu ketakutan yang mengenakan topeng kebetulan. Dan ya—Iya pernah jatuh ke kedua jebakan itu saat menguji mekanisme permainan untuk proyek narasi independen saya Echoes of the Void tahun lalu. Saat kalah lima kali berturut-turut? Rasanya tidak acak lagi—itulah perasaan pribadi.