Apakah Anda Benar-Benar Online?

Saya dulu mengira scrolling adalah produktivitas—sampai saya menyadari refleksi diri di balik cahaya TikTok larut malam. Lima like. Tiga komentar. DM yang tak pernah balas. Algoritma tak peduli jika Anda ada; ia hanya peduli pada performa.

Illusi Koneksi

Dibesarkan di apartemen Brooklyn, ibu Jamaika saya ajarkan bahwa ritual memberi makna—bukan metrik. Ayah Jerman saya memprogram sistem untuk memecahkan masalah, tapi tak pernah memecahkan kesepian. Kini, saya merancang platform yang mengubah diam menjadi spektakel. Kami salah mengartikan tampil sebagai kehadiran, klik sebagai kedekatan.

Sinyal #1: Like Khayalan

Anda membagikan sesuatu yang rentan—puisi tentang pemakaman ibu Anda—and dapat 47 like dari orang asing yang belum pernah bertemu dengan Anda. Algoritma memberi reward atas performa, bukan rasa sakit. Ia tak tahu nama Anda; ia tahu pola Anda.

Sinyal #2: DM Diam

Pesan pribadi menunggu berhari-hari. Tak ada balasan. Hanya emoji melayang seperti asap di thread kosong. Anda ingin dilihat—tapi sistem dioptimalkan untuk kepadatan keterlibatan, bukan bobot emosional.

Sinyal #3: Jebakan Trend

Anda mengikuti gelombang viral—tiga posting berturut tentang burnout—and tiba-tiba merasa jadi bagian dari kerumunan. Tapi tren adalah ilusi yang dihasilkan RNG, bukan kebenaran. Kerinduan Anda bukan data; itu ingatan.

Sinyal #4: Perayaan Palsu

Pop-up festival menjanjikan ‘boost gratis’ dan ‘lucky streak’. Rasanya seperti cahaya Diwali—terang tapi hampa. Anda bergabung untuk merasa termasuk—but akhirnya lebih sepi dari sebelumnya.

Sinyal #5: Duka Algoritmik

Platform mengingat kebiasaan Anda—bukan hati Anda.
Anda bukan pengguna.
Anda adalah dataset.
Anda tidak tak terlihat—you diabaikan oleh desain.

Apa yang terjadi ketika tak ada yang melihat Anda… tapi semua orang scrolling?